"Hampir di semua perguruan tinggi di Indonesia, para mahasiswa yang ingin belajar ilmu linguistik harus pergi ke Fakultas Sastra atau Fakultas Ilmu Budaya, bukan fakultas lain. Sedangkan, di berbagai perguruan tinggi di Amerika Serikat, Eropa dan Australia, ilmu linguistik dianggap sebagai kajian yang strategis dan mandiri sehingga perlu diajarkan di sebuah department (jurusan atau fakultas) tersendiri. Kajian linguistik dianggap setara dengan Sosiologi, Pemerintahan, Komunikasi, Administrasi Publik, Antropologi, Filsafat, Psikologi, Politik, Sastra, Sejarah dan/atau cabang ilmu sosial lain. Di samping itu, para ilmuwan, dosen dan mahasiswa Indonesia kurang terbiasa bekerja secara interdisipliner sehingga cabang ilmu “baru”, yang disebut linguistik ini, cenderung hanya dikaitkan dengan satu bidang umum saja, yakni, bahasa. Akibatnya, pada umumnya mereka beranggapan bahwa linguistik hanya pantas dipelajari oleh para mahasiswa yang ingin mempelajari seluk-beluk bahasa. Celakanya, anggapan semacam ini juga diyakini oleh mereka yang bekerja di Fakultas Sastra (atau Fakultas Ilmu Budaya). Padahal, di belahan bumi bagian Barat, Utara, Timur dan Selatan sana, ilmu linguistik telah dikawinkan dan dikembangbiakkan oleh para ahli bidang lain sehingga cabang baru ini menjadi sangat berguna bagi penelitian dan perkembangan ilmu sosial apa pun.
Ada beberapa contoh dari hasil kerjasama interdispliner yang membuat perkembangan ilmu sosial, komunikasi dan linguistik berkembang bergitu pesat. Misalnya, di Amerika Serikat, para ahli linguistik, sosiologi dan antropologi telah lama bergabung sejak dekade 1970an untuk bekerjasama membuat studi etnografi komunikasi tetapi sayang, sampai kini, gaungnya pun nyaris tak terdengar di negeri ini. Sudah sejak pertengahan dekade 1950an, para ahli filsafat di universitas Oxford, Inggris, telah merintis kajian baru gabungan antara studi linguistik dan filsafat yang kemudian melahirkan teori speech acts (aksi ujaran) yang sampai kini belum dikenal secara luas oleh kebanyakan dari para ahli ilmu sosial di negeri ini. Berawal di dekade 1970an, kerja sama antara para ahli bahasa dan pedagogi di Inggris mengembangkan studi discourse analysis yang kini menjadi bagian tak-terpisahkan dari studi ilmu sosial apa pun terutama bidang yang mengamati penggunaan bahasa dan komunikasi. Entah apa sebabnya, bersamaan dengan studi discourse analysis ini muncul pula studi conversational analysis yang dirintis oleh para ahli sosiologi, di Amerika Serikat, berdasarkan kajian etnometodologi.
"
Jumlah Halaman | XVIII+212 |
Penulis | J. Herudjati Purwoko, Ph.D. |
ISBN | 978-602-262-287-1 |
Tahun Terbit | 2014 |
Penerbit | Graha Ilmu |
Stok Buku | 0 / |