Mengapa Ramayana dan Mahabharata menyajikan peristiwa kehidupan di jagat wayang yang penuh konflik dan berakhir dengan perang besar di akhir cerita? Mengapa kedua belah pihak yang bertikai tidak berhasil mengekang diri dan menghindari terjadinya perang yang mengakibatkan pertumpahan darah cukup besar? Mengapa dalam pergelaran wayang (baik wayang kulit maupun wayang orang), konflik seakan menjadi sajian utama yang ditunggu-tunggu? Seolah tanpa adanya konflik (dan perang) lakon cerita jadi terasa hambar sehingga kurang menarik ditonton. Maka, tidak mengherankan jika yang disebut perang kembang, perang gagal, perang brubuh, selalu membuat penonton terpesona. Sehingga, konflik atau perang bukan lagi “bumbu”, melainkan bagian yang ditunggu-tunggu dari sebuah pergelaran wayang. Kecenderungan tersebut seakan mengindikasikan bahwa perang dalam kisah wayang sudah menjadi bagian utama yang dibakukan seperti halnya dalam fiksi modern. Padahal, di Jawa sudah terdapat ungkapan yang menyatakan pergelaran wayang merupakan: “tontonan sekaligus tuntunan”. Artinya, realitas pergelaran dibuat semenarik mungkin sebagai tontonan agar ditonton, dan penonton diharapkan menemukan nilai-nilai tuntunan dari sana. Iman Budhi Santosa membuat 72 uraian kisah tentang pertengakaran anak-anak, konflik tentang rasa, hingga kekuasaan yang menyebabkan peperangan. Dalam uraiannya, Begawan Iwan Budhi Santosa mengupas konflik dan perang dalam jagat pewayangan yang bisa dijadikan sebagai tuntunan hidup.
Jumlah Halaman | 306 |
Penulis | Iman Budhi Santosa |
ISBN | 978-623-7800-61-3 |
Tahun Terbit | 2022 |
Penerbit | Mirra Buana Media |
Stok Buku | 0 / |